Membela Sahabat Yang Mulia Muawiyah Bin Abi Sufyan Radhiyallahu Anhuma
MEMBELA SAHABAT YANG MULIA, MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU ANHUMA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang agung di sisi Allâh, di sisi Rasul-Nya, dan di sisi kaum muslimin lantaran sangat banyak kebaikan dan keutamaan mereka Radhiyallahu anhum. Sebaliknya, sebagian orang ada yang menyimpang dan memiliki kebiasaan mencela sebagian para sahabat Nabi yang mulia, khususnya sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Padahal beliau termasuk sahabat Nabi, saudara ipar Nabi, dan penulis wahyu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kedudukan dan pujian.
Pujian Allah kepada sahabat secara umum, yang pujian ini juga mengenai sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma sebagaimana tertera dalam firman Allâh Ta’ala:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا
Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (maksudnya, pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka). Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat. Sedangkan sifat-sifat mereka dalam Injil, adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [al-Fath/48:29].
Demikian pujian terhadap para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma termasuk di dalamnya.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma, termasuk sahabat Nabi yang mengikuti perang Hunain. Allâh Ta’ala menurunkan beberapa ayat tentang perang ini yang menunjukkan anugerah ketenangan kepada kaum mukminin dan pertolongan-Nya kepada mereka. Allâh Ta’ala berfirman:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ﴿٢٥﴾ ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya Allâh telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain. Yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allâh menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allâh menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allâh menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. [at-Taubah/9:25-26].
Allâh Ta’ala juga berfirman:
لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. [at-Taubah/9:117].
Ayat ini dengan jelas memberitakan kasih sayang dan penerimaan taubat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhajirin, dan Anshar, yang telah mengikuti beliau dalam perang Tabuk. Adapun Mu’awiyah bin Abi Sufyan c termasuk sahabat Nabi yang mengikuti perang ini.
Allâh Ta’ala juga menjanjikan surga bagi para sahabat Nabi g , sedangkan janji Allah adalah haq. Allâh berfirman:
لَا يَسْتَوِيْ مِنْكُمْ مَّنْ اَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِيْنَ اَنْفَقُوْا مِنْۢ بَعْدُ وَقَاتَلُوْاۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah),[1] mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allâh menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (yaitu surga). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-Hadîd/57:10].
Di dalam ayat ini Allâh Ta’ala menyebutkan dua golongan sahabat yang dijanjikan mendapatkan surga, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c termasuk salah satunya. Karena kemungkinan ia telah masuk Islam sebelum Fathu Makkah atau setelahnya. Dia juga telah ikut berinfak dan berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hunain dan Thaif, sehingga ia termasuk yang mendapatkan janji “husna” berdasarkan nash ayat ini. Husna adalah surga sebagaimana firman Allâh Ta’ala:
اِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِّنَّا الْحُسْنٰىٓۙ اُولٰۤىِٕكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ
Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka al-husna (ketetapan yang baik; surga) dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka. [al-Anbiyâ’/21:101]
DOA KEBAIKAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM UNTUK MU’AWIYAH RADHIYALLAHU ANHU
Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma memiliki keutamaan secara khusus karena pernah didoakan kebaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمِيرَةَ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِمُعَاوِيَةَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
Dari Abdurrahman bin Abi ‘Amîrah -ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – : dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berdoa untuk Mu’awiyah: “Ya, Allah! Jadikanlah ia (Mu’awiyah) orang yang memberi petunjuk, orang yang diberi petunjuk, dan berilah petunjuk (kepada manusia) dengan sebab dia”.[2]
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah menilai hadits ini termasuk keutamaan yang nyata bagi sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhum. Dia juga berkata: “Orang yang Allûh berikan keutamaan penggabungan dua tingkatan ini, bagaimana dibayangkan padanya apa yang dikatakan dengan dusta oleh orang-orang yang membuat kebatilan dan apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menentang”. (Tath-hîrul-Lisân, hlm. 14).
APAKAH MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU ANHUMA BERSIH DARI KESALAHAN?
Aqidah Ahlus-Sunnah menyatakan bahwa para sahabat Nabi Radhiyallahu anhum tidak maksum. Mereka adalah manusia yang bisa berbuat salah dan dosa. Namun para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan generasi terbaik, paling bersemangat dalam berbuat kebaikan, banyak amal shalih besar yang mereka lakukan. Mereka beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Kaum Muhajirin berhijrah dan kaum al-Anshar memberikan pertolongan, membela agama dan Nabi yang mulia dengan harta, jiwa, dan raga. Oleh karena itu, jika ada kesalahan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya tertutupi dengan lautan kebaikan yang telah mereka lakukan. Atau kesalahan mereka diampuni dengan sebab berbagai musibah yang mereka alami. Atau dengan rahmat Allâh yang dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan, yang memohon ampun, dan mengharapkan rahmat-Nya.
Suatu ketika al-Miswar bin Makhramah bertemu Mu’awiyah Radhiyallahu anhu , lalu terjadi pembicaraan sebagai berikut :
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu bertanya kepada al-Miswar bin Makhramah: “Apa yang menyebabkan engkau mencelaku?”
Al-Miswar menyebutkan seluruh perkara yang menyebabkan ia mencela Mu’awiyah Radhiyallahu anhu . Maka Mu’awiyah Radhiyallahu anhu berkata: “Bersama ini semua, wahai Miswar, apakah engkau memiliki kesalahan-kesalahan?”
Dia menjawab, “Ya”.
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu bertanya,”Apakah engkau mengharapkan Allah mengampuninya?”
Dia menjawab,”Ya.”.
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu berkata,”Apa yang menjadikanmu lebih mengharapkan ampunan Allâh dariku? Sesungguhnya demi Allah, (selain mengharapkan ampunan-Nya) tidaklah aku disuruh memilih antara Allâh dengan selain-Nya, pasti aku memilih Allâh daripada selain-Nya. Demi Allâh, aku selalu berusaha berjihad, menegakkan hudud (hukum-hukum agama berkaitan dengan kejahatan), memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, lebih baik daripada perbuatanmu. Dan aku memeluk agama (Islam) yang (agama ini) menerima kebaikan-kebaikan pemeluknya, dan memaafkan kesalahan-kesalahannya. Maka apakah yang menjadikanmu lebih mengharapkan rahmat Allâh dariku?”
Al-Miswar berkata: “Dia (Mu’awiyah) telah mengalahkanku (di dalam pembicaraan)”. (Mushannaf, Abdurrazaq, no. 20717, Bab: Man Adzalla as-Sulthan).
BENARKAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDOAKAN BURUK KEPADA MU’AWIYAH RADHIYALLAHU ANHU?
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ أَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَارَيْتُ خَلْفَ بَابٍ ، قَالَ : فَجَاءَ فَحَطَأَنِي حَطْأَةً وَقَالَ : اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ ، قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ : هُوَ يَأْكُلُ ، قَالَ : ثُمَّ قَالَ لِيَ : اذْهَبْ فَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ ، قَالَ : فَجِئْتُ فَقُلْتُ : هُوَ يَأْكُلُ ، فَقَالَ : لَا أَشْبَعَ اللَّهُ بَطْنَهُ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku sedang bermain dengan anak-anak, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka aku bersembunyi di balik pintu. Beliau datang lalu menepuk bahuku dan bersabda,’Pergilah! Panggilkan Mu’awiyah untukku!‘. Aku datang kemudian, aku berkata, ‘Dia sedang makan,’ lalu beliau bersabda,‘Pergilah! Panggilkan Mu’awiyah untukku!‘ Aku datang, kemudian aku berkata,’Dia sedang makan,’ maka beliau bersabda,‘Semoga Allâh tidak mengenyangkan perutnya’.” (HR Muslim, no. 2604; dan lainnya).
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai celaan bagi Mu’awiyah Radhiyallahu anhu , namun banyak ulama memahaminya sebagai keutamaan bagi Mu’awiyah Radhiyallahu anhu .
Imam Nawawi rahimahullah membuatkan nama bab untuk hadits ini dengan judul,
من لعنه النبي صلى الله عليه وسلم أو سبَّه أو دعا عليه ، وليس هو أهلاً لذلك كان له زكاةً وأجراً ورحمةً
(barang siapa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya, atau mencelanya, atau mendoakan keburukan baginya, padahal dia tidak berhak mendapatkannya, hal itu menjadi kesucian, pahala, dan rahmat baginya).
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Adapun doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Mu’awiyah ‘agar dia tidak kenyang’ ketika ia terlambat, maka ada dua jawaban yang telah lewat. Pertama, bahwa itu perkataan dengan lidah yang tidak dimaksudkan. Kedua, bahwa itu adalah hukuman baginya karena keterlambatannya. (Imam) Muslim rahimahullah memahami dari hadits ini bahwa Mu’awiyah tidak berhak mendapatkan doa buruk, oleh karena itu ia memasukkan hadits tersebut ke dalam bab ini. Selainnya (imam Muslim) ada yang menjadikan hadits ini termasuk keutaamaan Mu’awiyah, karena pada hakikatnya ini menjadi doa kebaikan untuknya”. (Al-Minhaj, 16/156).
Di antara yang menguatkan pemahaman tersebut adalah hadits-hadits lain yang diriwayatkan Imam Muslim dalam bab yang sama, antara lain:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ ، فَكَلَّمَاهُ بِشَيْءٍ لَا أَدْرِي مَا هُوَ ؟ فَأَغْضَبَاهُ ، فَلَعَنَهُمَا ، وَسَبَّهُمَا فَلَمَّا خَرَجَا قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَصَابَ مِنْ الْخَيْرِ شَيْئًا مَا أَصَابَهُ هَذَانِ ، قَالَ : وَمَا ذَاكِ ؟ قَالَتْ : قُلْتُ : لَعَنْتَهُمَا وَسَبَبْتَهُمَا ، قَالَ : أَوَ مَا عَلِمْتِ مَا شَارَطْتُ عَلَيْهِ رَبِّي ؟ قُلْتُ : اللَّهُمَّ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ فَأَيُّ الْمُسْلِمِينَ لَعَنْتُهُ أَوْ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْهُ لَهُ زَكَاةً وَأَجْرًا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Ada dua laki-laki menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya berbicara kepada beliau dengan sesuatu yang aku tidak memahaminya, lalu keduanya menjadikan beliau murka, maka beliau melaknat keduanya dan mencelanya. Ketika keduanya telah keluar, aku bertanya,‘Wahai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Siapakah yang mendapatkan kebaikan sebagaimana telah didapatkan oleh keduanya?‘ Beliau (balik) bertanya,‘Apa itu?’ Aku berkata,‘Engkau telah melaknat keduanya dan mencelanya,’ beliau bersabda,‘Tidakkah engkau mengetahui syarat yang aku sampaikan kepada Rabbku? Yaitu aku berdoa, Wahai Allâh, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, siapa saja umat Islam yang aku telah melaknatnya dan mencelanya, maka jadikanlah itu kesucian dan pahala baginya’.” (HR Muslim, 2600)
Semakna dengan yang dikatakan oleh Imam Nawawi di atas, Imam adz-Dzahabi t berkata: “Kemungkinan dikatakan, ini adalah keutamaan bagi Mu’awiyah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Wahai Allâh, barangsiapa yang aku telah melaknatnya dan mencelanya (yaitu dari kalangan umat Islam-pen), maka jadikanlah itu kesucian dan rahmat baginya’.” (Siyar A’lamin-Nubala’, 14/130; lihat juga Tadzkiratul- Huffadz, 2/699).
Bahkan sebagian ulama memahami doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan keutamaan Mu’awiyah seperti hakikatnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah :
Sesungguhnya Mu’awiyah telah mendapatkan manfaat dengan doa ini di dunia dan akhiratnya.
Adapun di dunianya, (yaitu) ketika ia menjadi gubernur di Syam. Dia makan tujuh kali sehari. Didatangkan piring besar yang berisi daging yang banyak dan bawang, lalu dia makan darinya. Dia makan tujuh kali sehari dengan daging, manisan, dan buah-buahan yang banyak. Dia berkata, ‘Demi Allâh, aku belum kenyang, namun capek’. Ini adalah nikmat dan sesuatu yang dihitung (dibanggakan) yang disukai oleh raja-raja.
Sedangkan di akhiratnya, Imam Muslim telah menyertakan hadits ini dengan hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya dari banyak jalur dari sekelompok sahabat, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Wahai Allâh, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, siapa saja hamba yang aku telah mencelanya, atau menderanya, atau mendoakan keburukan padanya, padahal dia tidak pantas mendapatkannya, maka jadikanlah itu penebus dosa dan ibadah yang mendekatkannya di sisi-Mu pada hari kiamat’.
Imam Muslim menggabungkan hadits pertama dengan hadits ini suatu keutamaan bagi Mu’awiyah, dan tidak membawakan hadits itu untuk selainnya. (Al-Bidayah wan–Nihayah, 18/119-120).
BENARKAH MU’AWIYAH RADHIYALLAHU ANHU MELAKNAT ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU?
Memang ada beberapa riwayat di dalam buku-buku tarikh (sejarah) yang menyebutkan Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu , tetapi riwayat-riwayat itu tidak shahîh, bahkan dusta. Adapun riwayat shahîh yang dianggap sebagai dalil Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu , maka hal itu karena kesalahpahaman terhadapnya. Oleh karena itu, banyak ulama Ahlus-Sunnah yang mengingkari berita-berita yang menyebutkan Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu .
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu bersih dari tuduhan mencela Ali Radhiyallahu anhu , karena telah terbukti ia sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki berbagai keutamaan, baik secara umum maupun khusus. Sebagaimana ia Radhiyallahu anhu terpuji riwayat hidupnya, sehingga dipuji pula oleh para sahabat dan tokoh-tokoh tabi’in. Mereka memuji Mu’awiyah dengan kebaikan beragama, pemahaman agama yang baik, keadilan, kelapangan dada, dan lain-lain dalam hal sifat-sifat kebaikan.
Jika benar Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu , menceritakan celaan dan laknat itu di mimbar-mimbar, berarti pujian para sahabat dan tokoh-tokoh tabi’in serta orang-orang setelahnya yang memujinya telah bersekongkol dan bersepakat di atas kesesatan, maka hal ini tentu sangat mustahil, karena umat Islam tidak pernah bersatu di atas kesesatan.
Di antara ulama Ahlus-Sunnah yang mengingkari berita-berita yang menyebutkan Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu adalah sebagai berikut:[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Jauh (yaitu mustahil) Mu’awiyah menyatakan laknat dan celaan terhadapnya (Ali Radhiyallahu anhu ), karena Mu’awiyah memilki sifat berakal, beragama, santun, dan akhlak yang baik. Adapun yang diriwayatkan darinya tentang hal itu (celaaan dan laknat terhadap sahabat Ali Radhiyallahu anhu ), kebanyakan adalah dusat, tidak shahîh”. (Al-Mufhim, 6/278).
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini tidak shahîh dari mereka, semoga Allah meridhai mereka”. (Lihat dalam al-Bidayah wan–Nihayah, 10/576).
Di antara hadits shahih yang dianggap sebagai bukti Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela Ali Radhiyallahu anhu ialah hadits berikut ini:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَمَرَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِى سُفْيَانَ سَعْدًا فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا التُّرَابِ فَقَالَ أَمَّا مَا ذَكَرْتُ ثَلاَثًا قَالَهُنَّ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَنْ أَسُبَّهُ لأَنْ تَكُونَ لِى وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqaash, dari bapaknya, ia berkata: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan memerintahkan Sa’ad, lalu dia berkata,’Apa yang menghalangimu mencela Abu Turab (Ali Radhiyallahu anhu )?’ Sa’ad menjawab,’Adapun yang aku ingat ada tiga perkara yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihin wa sallam. Sungguh, satu saja dari ketiganya itu untukku lebih aku sukai daripada onta merah. Maka aku tidak akan mencelanya’.” (HR Muslim). Kemudian Sa’ad menyebutkan tiga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
Akan tetapi sesungguhnya tidak ada dalil yang nyata dalam hadits ini bahwa Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mencela atau memerintahkan mencela Ali Radhiyallahu anhu . Hal ini dikatakan oleh para ulama, seperti yang dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, “Di dalam perkataan Mu’awiyah ini tidak ada pernyataan jelas bahwa dia memerintahkan Sa’ad untuk mencelanya (Ali Radhiyallahu anhu ). Namun dia hanya bertanya kepadanya tentang sebab yang menghalanginya mencela (Ali Radhiyallahu anhu ). Seolah-olah dia bertanya, “Apakah engkau tidak melakukan karena kehati-hatian, atau takut, atau lainnya? Jika karena kehati-hatian dan karena mengagungkannya sehingga tidak mencela, maka engkau benar dan telah berbuat baik. Jika karena lainnya, maka jawabannya lain. Kemungkinan waktu itu Sa’ad berada di sekelompok orang yang mencela (Ali), tetapi dia tidak mencela bersama mereka, namun tidak mampu mengingkari, atau dia telah mengingkari, sehingga Mu’awiyah bertanya kepadanya dengan pertanyaan ini. Mereka (ulama) juga berkata, “Kemungkinan (pertanyaan Mu’awiyah Radhiyallahu anhu di atas) memiliki makna lain, yang intinya, apa yang menghalangimu menyalahkan pandapat dan ijtihadnya (Ali Radhiyallahu anhu ), dan menampakkan kepada masyarakat kebaikan pendapat dan ijtihad kami, dan dia (Ali Radhiyallahu anhu ) telah berbuat salah?” (Syarah Shahîh Muslim, 15/175).
Perlu diketahui, Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu termasuk sahabat yang beruzlah (menyendiri). Yaitu tidak bergabung dengan Ali Radhiyallahu anhu atau dengan lainnya saat terjadi peperangan antar sahabat. Bahkan diriwayatkan beliau mendoakan celaka terhadap orang yang mencela Ali Radhiyallahu anhu , maka tidak mungkin Mu’awiyah memerintahkan Sa’ad Radhiyallahu anhu untuk mencela Ali Radhiyallahu anhu .
Kemudian seandainya benar-benar terjadi Mu’awiyah melakukan laknat terhadap Ali Radhiyallahu anhu , maka marilah kita dengarkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kepada Ibnu Muthahhar ar-Rafidhi: “Adapun yang dia (Ibnu Muthahhar) sebutkan tentang laknat kepada Ali Radhiyallahu anhu , maka sesungguhnya perbuatan melaknat terjadi dari dua golongan, sebagaimana terjadi peperangan (dari dua golongan). Ini semua bisa jadi merupakan dosa, atau ijtihad yang salah, atau (ijtihad) yang benar, maka ampunan Allah dan rahmat-Nya untuk semuanya dengan sebab taubat, kebaikan-kebaikan yang menghapuskan dosa, musibah-musibah yang menggugurkan dosa, dan selainnya”. (Mihajus–Sunnah, 4/368).
APAKAH MU’AWIYAH RADHIYALLAHU ANHU MERACUN AL-HASAN BIN ALI RADHIYALLAHU ANHUMA ?
Termasuk kedustaan yang diyakini sebagian orang yaitu cerita Mu’awiyah Radhiyallahu anhu meracuni al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma. Memang cerita ini disebutkan di sebagian buku-buku tarikh, tetapi tidak bisa dipercaya.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata:
Jika ada yang mengatakan ia (Mu’awiyah) menyusupkan orang yang meracun al-Hasan, maka kami katakan, ini mustahil (ditinjau) dari dua sisi.
Pertama, Mu’awiyah tidak perlu menjaga diri dari serangan al-Hasan, karena al-Hasan telah menyerahkan urusan (kekuasaan).
Kedua, masalah tersebut merupakan perkara ghaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Maka mengapa engkau tuduhkan hal itu dengan tanpa bukti kepada salah seorang dari makhluk-Nya setelah zaman yang jauh. Kita tidak meyakini nukilan seseorang yang menukilkan yang berada di tengah-tengah pendapat para pengikut hawa nafsu, dan di dalam keadaan fitnah dan fanatisme, setiap orang menisbatkan kepada musuhnya perkara yang tidak pantas. Maka nukilan-nukilan itu tidak diterima kecuali yang bersih (murni) dan tidak didengar kecuali dari seorang yang benar-benar adil (jujur dan baik). (Al-‘Awâshim minal-Qawâshim, hlm. 220-221).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata membantah Ibnu Muthahhar: “Adapun perkataan Ibnu Muthahhar ‘sesungguhnya Mu’awiyah meracun al-Hasan’, maka ini memang disebutkan oleh sebagian orang, tetapi tidak ada bukti yang dibenarkan syari’at atau pengakuan yang diterima, dan tidak ada nukilan yang bisa dipastikan. Ini termasuk perkara yang tidak mungkin diketahui. Maka mengatakan tentang hal ini merupakan perkataan tanpa ilmu. Intinya, hal seperti ini tidak bisa dihukumi dalam syari’at berdasarkan kesepakatan kaum muslimin”. (Minhajus–Sunnah, 4/469)
Demikian sedikit penjelasan dan bantahan sebagian syubhat terhadap sahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Sesungguhnya syubhat sangat banyak, tetapi sedikit isyarat ini mencukupi bagi orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah, wallâhu a’lam bish-shawwab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-fath dalam ayat ini ialah perdamaian Hudaibiyah.
[2] HR Ahmad, 4/216; Bukhâri dalam at-Tarikh, 5/240; Tirmidzi, no. 3842; dan lain-lain. Dishahîhkan oleh al-Albani di dalam ash-Shahîhah, no. 4/615.
[3] Lihat Sallus–Sinan fiidz–Dzabbi ‘an Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 1/208.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4255-membela-sahabat-yang-mulia-muawiyah-bin-abi-sufyan-radhiyallahu-anhuma.html